MANUSIA DAN CINTA KASIH
Jika isi batin terbangun, maka terbuka perasaan. Jika perasaan terbuka, akal tak menjadi kaku melulu rasional-intelektualistik, melainkan jadi akal yang diterangi budi. Nah, inilah yang disebut akal budi. Jadi, cinta adalah perkara akal budi. Hanya akal-budi yang mampu menerangkan penghayatan.
dalam menghayati cinta kata-kata kunci untuk menghayatinya adalah kebebasan dan kebahagiaan. Namun sangat sulit untuk memetik kebahagiaan dan kebebasan tersebut
PENDAHULUAN
Cinta kasih, kasih sayang, kemesraan, pemujaan, dan belas kasihan merupakan bagian hidup diri manusia. Bentuk-bentuk kehidupan yang dipenuhi rasa cinta kasih dan kasih sayang dapat membangkitkan kreativitas manusia. Untuk mengungkapkan rasa kasih sayang dan cinta kasih dapat melalui beberapa media. Melalui media bahasa, lahirlah seni sastra; dengan media garis, warna, dan bentiik, lahirlah seni rupa; dengan media nada, irama, dan suara, lahirlah seni musik, dan lain-lain
Menurut Purwodarminto, cinta kasih adalah perasaan sayang, perasaan cinta, dan perasaan suka pada seseorang. Secara sederhana cinta dapat dikatakan sebagai paduan rasa simpati antara dua makhluk. Rasa simpati ini tidak hanya berkembang di antara pria dan wanita, akan tetapi dapat pula di antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita. Dalam kehidupan keluarga, kasih sayang atau cinta kasih merupakan kunci kebahagiaan. Dalam kasih sayang, sadar atau tidak sadar dan masing-masing pihak dituntut rasa tanggung jawab, pcngorbanan, kejujuran, saling percaya, saling pengertian, saling terbuka, sehingga keduanya merupakan kesatuan yang utuh. Bila salah satu unsur kasih sayang itu hilang, sebagai misal tanggung jawab, maka retaklah keutuhan rumah tangga itu.Sebagai contoh seorang ibu yang sadar akan peranannya sebagain orang tua akan sangat mengasihi dan menyanyayangi anaknya ini dikarenakan Ibu itu paham betul tugasnya sebagai seorang ibu dan ibu itu juga bahagia melakukan tugas tersebut demi anaknya.
Perbedaan cinta dengan nafsu dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. cinta bersifat manusiawi. Pada manusia cinta dapat tumbuh dan berkembang, sedangkan pada binatang hanya terbatas pada nalurinya untuk melindungi.
b. cinta bensifat rohaniah, sedangkan nafsu sifatnya jasmaniah. Luapan cinta seseora memberikan semangat dalam hidupnya dan bagi yang menerimanya dirasakan sebagai kebahagiaan. Sementara nafsu yang jasmamah cenderung untuk memuaskan dorongan seksual.
c. cinta menunjukkan perilaku memberi, sedangkan nafsu cenderung menuntut. Pemberian cinta dilakukan secara halus karena rohaniab sifatnya, sedangkan dorongan nafsu mudah dilakukan sebagai paksaan.
Menurut Fromm (1983), cinta itu terutama memberi bukan menerima dan memberi merupakan ungkapan paling tinggi dan kemampuan. Hal yang paling penting dalani memberi adalah yang sifatnya manusiawi, bukan materi. Cinta selalu menyatakan unsur unsur dasar tertentu, yaitu pengasuhan, tanggung jawab, perhatian, dan pengenalan.
Menurut Sarwono (dalam Supartono,1996) bahwa cinta ideal memiliki tiga unsur, yaitu keterikatan, keintiman, dan ikatan adalah adanya perasaan untuk bersama dia, secara totalitas untuk dia, tidak mau bersama orang lain kecuali dengan dia.
Berbagai Bentuk Cinta
1. Cinta Persaudaraan
Cinta persaudaraan (agape dalam bahasa Yunani) diwujudkan manusia dalam tingkah laku atau perbuatannya. Cinta per saudaraan tidak mengenal adanya batas-batas manusia yang berdasarkan suku bangsa, bangsa, ataupun agama. Dalam cinta mi semua manusia sama, yaitu sebagai makhluk ciptaan Allah. Cinta persaudaraan pada umumnya melekat dengan sikap tanpa pamrih. Secara filosofis dibuatkan dengan jargon “cintailah sesamamu seperti engkau mencintaidirimu sendiri”.
2. Cinta Keibuan
Kasih sayang yang bersumber pada cinta keibuan yang paling ash adalah yang terdapat pada seorang ibu terhadap anak kandungnya. Seorang ibu yang memperoleh benih anak dan suaminya tercinta akan memeliharanya secara hati- hati dan penuh kasih sayang. Setelah anak lahir melalui penderitaan yang hebat dan ibu, dirawat dan diasuhlah anak dengan penuh kasih sayang. Dalam proses pengasuhan itu terdapat serangkaian tugas yang harus dilakukan ibu, yaitu menyusui, merawat, menemani, memandikan, membelai, dan sebagainya. Bagi seorang ibu tidak ada harta yang paling berharga kecuali kehadiran anak, yang dianggap sebagai buah hati.
3. Cinta Erotis
Kasih sayang yang bersumber dan cinta erotis (sifat membirahikan), memang merupakan suatu yang sifatnya eksklusif sehingga sering memperdayakan cinta yang sebenarnya. Hal mi terjadi karena antara cinta dan nafsu dipersepsikan secara sama. Padahal jika dicermati secara seksama, keduanya memihiki pengertian yang berbeda bahkan bertolak belakang. Kasih sayang dalam cinta erotis merupakan kontak seksual yang ash dan yang ideal bersumber dan cinta. Kasih sayang erotis dapat menjadi perekat hubungan suami istri dalam membina hidup berkeluarga.
4. Cinta Diri Sendiri
Pada din individu, di samping harus mencintai sesama juga ada keharusan mencintai din sendiri (self love). Banyak orang menafsirkan bahwa cinta kepada din sendiri identik dengan & Jika hal mi yang terjadi maka cinta pada din sendiri int nilai negatif. Namun esensi mencintai din sendiri Incrigurus din sendiri sehingga kebutuhan jasmani dan rohaninya terpenuhi secara wajar. Setiap individu wajib niencintai dininya sendiri.
5. Cinta pada Allah
Cinta pada Allah merupakan perwujudan pengabdian manusia ketika hidup di dunia. Orang yang cinta pada Allah umumnya disebut religius atau taat beragama.
HAKIKAT CINTA
SATU Sejauh cinta ditelusuri dalam bingkai kepentingan publik luas, barangkali bukan saja di Indonesia melainkan di seluruh jagat, sulit ditemukan cinta yang sejati. Meski para koruptor dan pelanggar HAM tingkat kakap masih menyimpan cinta bagi anak istri suami kerabat sahabat dan klik sendiri, tetapi sebab ujungnya merugikan kepentingan umum, maka cinta mereka agaknya bukan cinta melainkan "cinta". Masalahnya, cinta tidak pernah berdusta.
cinta menyangkut individu, dan tiap individu mau tak mau akan selalu berurusan dengan cinta, tidak mengherankan jika cinta, di zaman apa saja, selalu laku dan laris sebagai sebuah tema. Mengapa? Sebab, tak bisa digugat, cinta merupakan perasaan terpenting dan terindah dalam hidup manusia, tapi sekaligus, ia juga fenomena psikis yang mempengaruhi jalan pikiran sehingga orang terkecoh mempercayai aneka mitos yang tidak benar.
bisakah cinta menjadi ilmu pengetahuan? Di universitas mana diajarkan ilmu cinta ini? Apa nama ilmunya? Di lingkungan fakultas apa ilmu ini diajarkan?
Sampai sekarang, tidak pernah jelas jawabnya, kecuali bahwa cinta adalah fenomena atau gejala psikis. Cinta adalah gejala kejiwaan. Ia tak bisa ditelusuri atau diteliti, sekurang-kurangnya sampai saat ini, dengan metode penelitian ilmu-ilmu murni atau eksakta, yang bisa diandalkan obyektivitasnya.
Itu bukan berarti bahwa mengenai cinta, tidak pernah bisa dikatakan sesuatu yang berlaku umum dan absah, tetap bisa, sekalipun cinta lebih mengacu pada pengalaman individual, pengalaman pribadi, pengalaman perseorangan, yang bagi tiap individu selalu unik dan hanya satu-satunya.
Pengalaman ini tak bisa diukur di laboratorium. Sampai sekarang belum ditemukan alatnya, dan entah apa memang akan ada alatnya. Mengenai cinta, orang hanya bisa mendiskripsikan, merumuskan, membicarakan, yang tentu saja, karena ini bersifat pengalaman individual, tak bisa dihindari akan bersifat subyektif. Menelusuri cinta tak bisa lepas dari subyektivitas perseorangan
Sebab kunci memahami cinta adalah pengalaman pribadi, maka ukuran atau normanya adalah pribadi yang bersangkutan. Norma cinta adalah anda sendiri, diri kita sendiri yang mencinta. Kitab suci, peraturan dan segala wasiat para bijak atau nabi hanyalah alat bantu. Sebab pada akhirnya terpulang pada diri kita sendiri. Norma utamanya adalah anda sendiri, kita sendiri. Norma-norma di luar diri kita, adalah tetek-bengek, yang jika mengganggu, tak usah digubris!
Jika isi batin terbangun, maka terbuka perasaan. Jika perasaan terbuka, akal tak menjadi kaku melulu rasional-intelektualistik, melainkan jadi akal yang diterangi budi. Nah, inilah yang disebut akal budi. Jadi, cinta adalah perkara akal budi. Hanya akal- budi yang mampu menerangkan penghayatan. Cinta adalah soal penghayatan atau pengalaman individu dalam suatu suasana tertentu.
Karena itu, cinta adalah suasana. Sebuah situasi yang dialami pribadi-pribadi tertentu. Yakni suasana manakala hati, akal-budi dan batin bangkit dan merasa bebas dan bahagia. Kebebasan dan kebahagiaan adalah kata-kata kunci untuk memahami cinta. Bebas dan bahagia tidak ada, adalah tanda tak adanya cinta
Satu hal menyedihkan tentang cinta adalah, sampai saat ini, banyak manusia tak pernah bisa total, tuntas dan purna dalam memperkembangkan cinta mereka. Cinta mereka terhalang banyak kendala. Memang, kendala-kendala itu, ada yang benar dan baik. Tapi yang terbanyak dalam kehidupan sehari-hari, kendala-kendala itu bikinan dan semu, alias kendala-kendala mubazir, atau bukan berhala yang dibesar-besarkan seolah berhala, hanya akal-akalan dan demi kepentingan pihak-pihak tertentu, yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan sang pencinta sendiri.
Dengan ini mau dikatakan, segala hal di luar sang pencinta, entah itu norma atau hukum atau tradisi atau apa saja, bukanlah di tempat pertama, sejauh itu tidak membawa kebahagiaan, kepuasan, kesehatan dan kebijaksanaan. Cinta adalah jalan menuju ke kebahagiaan, kepuasan, kesehatan dan kebijaksanaan. Anda dalam naungan cinta jika anda bahagia, puas, sehat dan bijak. Dan puncak cinta adalah ketika sang pencinta mengenal dan menemukan dirinya sendiri.
Cinta, memang soal kejiwaan, kejiwaan individu, kejiwaan personal. Tetapi ilmu jiwa sendiri, psikologi, tidak secara langsung dan lugas serta eksplisit mengangkat cinta sebagai disiplin ilmu yang tegas. Yang kita temukan dalam psikologi adalah tes- psikologi, psikologi klinis, psikologi perkembangan, ilmu tingkah laku dan ilmu karakter, psikologi periklanan, psikologi perusahaan, statistik orgamus, dan sejenisnya. Tapi, di mana itu psikologi cinta?
Jadi, cinta dalam psikologi sukar ditentukan letaknya. Sebab cinta tak dapat diteliti hanya ilmiah empiris-eksperimental. Secara kuantitatif ia tak bisa diukur dan tak bisa dihitung dengan utak-atik komputer.
DIALEKTIKA KASIH VERTIKAL: Cinta Manusia terhadap PenciptaNya)
Semua agama yang dikenal manusia, memandang dunia sebagai ujian, gelanggang tempat manusia ditempa menjadi makhluk yang lebih mulia. Dunia adalah sejenis kelas di mana manusia dididik untuk mengembangkan kapasitas-kapasitasnya.
Dalam sejarah, setidaknya ada dua kutub besar pandangan tentang dunia sebagai gelanggang. Kutub pertama adalah mereka yang melihat dunia sebagai kelas taman kanak-kanak. Mereka ini memang menganggap bahwa manusia pada dasarnya adalah bocah culun yang mungkin saja semurni malaikat tetapi sangat mudah menjadi mangsa setan. Manusia bahkan dianggap sangat gampang menjadi setan itu sendiri.
Dalam sepetak kelas taman kanak-kanak, kehadiran sebuah otoritas kasat mata, sangatlah diperlukan. Sebuah kelas kanak-kanak tanpa kehadiran seorang guru yang disegani, akan segera berubah menjadi kancah kacau-balau, yang pada akhirnya hanya akan merugikan kanak-kanak manis dan murni itu sendiri. Sekejap saja sang guru hilang dari pandangan anak-anak mungil itu, maka sejumlah anak mulai naik berdiri di atas bangku dan menyanyi bersahut-sahutan sekencang-kencangnya dengan nada yang mungkin sumbang. Sebagian lagi mulai main kejar-kejaran, saling sambit kue lalu saling jambak rambut yang kemudian disertai dengan acara tangis-tangisan — acara yang sebelumnya sudah dimulai oleh gadis-gadis mungil centil yang sembari bangkit membetulkan rambut dan kancing bajunya mengeak tersinggung dianggap tak cukup jago main dokter-dokteran. Anak-anak yang lebih pendiam mungkin akan mulai menggambari dinding kelas dengan sosok ajaib yang wajahnya adalah paras sang guru namun tubuhnya mungkin serupa kodok atau kura-kura. Jika seorang anak menemukan korek api, tak mustahil kelas yang indah itu akan dibakar menjadi api unggun.
Dorongan besar untuk menyelamatkan sesama ummat, adalah hal universal dalam diri manusia. Bahkan bisa dikatakan bahwa evolusi terbesar yang dicapai spesies manusia adalah berkembangnya dorongan untuk mengorbankan diri sendiri demi keselamatan kelompok yang lebih besar. Sebagai sesuatu yang universal, dorongan ini tentu tidak hanya tumbuh dalam satu agama atau mazhab tertentu saja. Karena potensial tumbuh di mana pun, sementara ajaran-ajaran agama dan mazhab bisa tampak tak senantiasa seiring, maka tak jarang dorongan universal ini saling tabrak, saling tumpas. Agama- agama atau mazhab-mazhab yang bertarung untuk menyelamatkan ummat ini, sangat sering terseret ke kancah yang oleh Karen Armstrong disebut sebagai “Berperang Demi Tuhan”. Barangkali sebutan yang lebih tepat untuk gejala besar ini adalah “Berperang Menghadirkan Tuhan, Demi Menyelamatkan Ummat”. Dalam rentetan peperangan yang usianya hampir setua usia peradaban manusia itu, banyak hal yang memang kemudian tergilas.
Yang paling gampang tergilas, atau setidaknya yang paling sering jadi sasaran dalam perang tua itu, adalah kutub pandangan dunia yang lain, yang juga memandang dunia ini sebagai kelas, namun bukan sebagai ruang taman kanak-kanak melainkan ruang para mahasiswa dan mahasarjana. Dunia buat mereka adalah kelas yang memang sedang menjalankan ujian kenaikan tingkat di mana mereka boleh membawa buku sebanyak-banyaknya. Dalam ujian itu, yang terpenting adalah mengerti soal ujian dan berupaya memecahkannya, bukan ada tidaknya sang mahaguru di tengah kelas. Sosok fisik sang mahaguru bahkan sebaiknya tak ada lagi di tengah ruang, mondar-mandir bersiul dan berdeklamasi dengan pengeras suara menganggu konsentrasi. Perjuangan untuk menghadirkan sang mahaguru di kelas, peperangan untuk menghadirkan jeratanjeratan kognitif manusia atas Tuhan di dunia, adalah kesibukan yang buat mereka benar-benar tak masuk akal sehat. Mustahil mahaguru yang baik akan hadir di tengah kelas, lalu membantu khusus satu dua mahasiswa yang berlumur do’a dan airmata untuk mengisi kertas-kertas ujian mereka, sambil tak lupa meng-order para malaikat agar menjerumuskan seluruh mahasiswa yang asik berpikir dan tak sempat berdo’a saking takjubnya. Kalau pun ada mahaguru yang seperti ini, ia tentulah bukan mahaguru yang layak disapa.
Hakim Yang Manusia
Buruknya pula, semua orang suka jadi hakim. Dan, hakim yang bodoh adalah secelaka- celakanya keadaan.
Kebodohan ini pulalah yang sudah membunuh Socrates, Giordano Bruno, dan Galileo, dan Jesus. Begitu kata Pramoedya Ananta Toer dalam cerpen Dendam.
Setiap hari kita menghakimi orang lain, baik yang kita kenal dalam kehidupan sehari- hari maupun yang kita kenal melalui kata-kata dan gambar. Manusia menganggap pikiran dan pengetahuannya sendiri yang paling benar. ltulah yang merupakan pasal- pasal dan perundangan dirinya untuk menghakimi orang lain. Manusia lain itu penuh kesalahan dan dirinyalah yang paling benar.
Kebenaran
Apakah salah dan benar itu? Salah dan benar itu paradoks. Sesuatu dinilai benar oleh guru, di mata murid-murid salah. Benar menurut tentara, salah besar menurut rakyat. Benar oleh orang kelaparan, salah bagi mereka yang kekenyangan. Ahli pikir yang satu berseberangan dengan ahli pikir yang lain. Jadi, mana yang benar dan mana yang salah? Setiap orang mempunyai "kebenaran" sendiri. Dan kebenaran itulah yang dipakai untuk menghakimi yang lain. Nilai salah dan benar seperti itu pada dasarnya adalah pengetahuan, yaitu pendidikan. Jadi, bersifat subyektif, baik individual maupun kolektif. Setiap orang dididik untuk belajar pasal-pasal kebenaran dan kesalahan dalam berbagai versinya. Dan seperti kita lihat, bisa saling bertentangan. Yang benar dinilai salah, yang salah dinilai benar, tergantung dari "ajaran" mana Anda berasal. Saling ngotot dalam mempertahankan kebenaran masing-masing hanya mungkin diakhiri dengan perang. Pengetahuan saya yang hidup atau pengetahuan Anda yang mati. Tetapi, salah dan benar itu berupa tindakan, peristiwa, nyata ada dan semua manusia mampu melihatnya. Salah dan benar itu juga obyektif. Kejadiannya memang demikian. Perbuatan dan tindakannya memang demikian. Itulah yang ada, yang terjadi, menyejarah. Dan, penghakiman itu juga nyata. Penghakiman itu bukan hanya terjadi dalam kepala. Penghakiman itu empirik.
Hati Nurani Benar dan salah itu bisa dicari dalam bentuk peristiwa itu sendiri, bukan dari pasal- pasal pikiran subyektif. Nilai-nilai benar dan salah tersebut telah ada dalam bentuk tindakan. Dan pasal-pasalnya tidak bisa ditulis atau diungkapkan karena berada di kedalaman nurani manusia. Kebenaran obyektif itu bersifat spirifual. Orang banyak
menyebutnya "Hati Nurani". Dari anak-anak sampai kakek-kakek, dari yang bodoh sampai yang tinggi pengetahuan, dari yang berkuasa sampai yang dikuasai, dari satu ajaran kebenaran sampai ajaran kebenaran yang lain, dari yang termiskin sampai yang kaya raya, semua memiliki kebenaran itu. Tetapi kebenaran itu ada di lubuk hati manusia. Biasanya baru disadari dalam renungan yang mendalam.
Penghakiman, menentukan benar dan salah, adalah kesesuaian antara hati nurani dan peristiwanya sendiri. ltulah keadilan. Hati nurani melihat, manusia tidak melihatnya. Bertindak adil, menghakimi secara adil, adalah penghakiman hati nurani yang melewati proses perenungan yang tidak sederhana.
Menghakimi secara cepat adalah penghakiman subyektif manusia. Menghakimi manusia lain itu tidak bisa serta-merta dengan bekal kebenarannya sendiri-sendiri. Menghakimi itu merenungi. Dan selama merenung jangan berbuat apa-apa, juga dalam ucapan, apalagi tindakan. Itulah yang oleh Pramoedya disebut "hakim yang bodoh".
Kebenaran Subyektif
Kalau manusia mau bertindak sebagai hakim, ia harus cerdas secara subyektif. Orang ini menyadari, nilai-nilai kebenarannya subyektif, dan karena itu terbatas. Untuk itu ia harus terbuka, toleran, mau mendengar "kebenaran-kebenaran" yang lain. Hakim yang bodoh adalah hakim yang berkacamata kuda. Hanya melihat satu arah dan tidak mau mendengarkan arah kiri kanan dan belakang. Sejarah membuktikan, penghakiman seperti ini memakan korban seperti disebutkan Pram, Socrates, Galileo, Bruno, dan ribuan yang lain.
Jika manusia mau bertindak sebagai hakim juga harus cerdas secara spiritual, maka ia bukan hanya harus terbuka bagi pengalaman empiriknya, tetapi juga terbuka bagi pengalaman transendennya. Kepekaan transenden kadang menghasilkan sesuatu yang paradoksal dipandang dari pengalaman empirik atau ajaran "baku" subyektifnya. Kebenaran yang nyleneh, di luar kebiasaan. Kebenaran nurani kadang menyakitkan bagi yang berkacamata kuda.
Ibunya Cinta, Ayahnya Keikhlasan
Dalam ilmu pengetahuan sudah lama dikenal archaeology of knowledge yang memberi inspirasi bahwa pengetahuan pun ada silsilahnya. Dalam karya indah Fritjof Capra berjudul The Tao of Physics bisa ditemukan tidak saja jejak-jejak pengetahuan Newton, Einstein, dan Heisenberg, tetapi juga bisa ditemukan sidik-sidik jari Confusius, Buddha, dan Krishna. Di bagian tertentu temuan Fritjof Capra (doktor fisika kelahiran Austria) tentang atom dan subatom, bahkan diberi judul The Dancing of Shiva. Yang menggembirakan, tidak saja di Barat ada sintesis Barat- Timur ala Fritjof Capra, di Timur juga ada sintesis serupa, Yongey Mingyur Rinpoche dalam The Joy of Living, tidak saja fasih berbicara meditasi, tetapi juga mendalam ketika mengulas fisika, biologi, sampai psikologi kognitif. Bila ia fasih dengan nama-nama seperti Dalai Lama, Karmapa, Tilopa, Marpa, dan Milarepa bisa dimaklumi karena punya darah Tibet
Mingyur Rinpoche juga fasih dengan karya-karya Niels Bohr, Albert Einstein, sampai ahli biologi Francisco J Varela. Apa yang mau dikemukakan melalui dua contoh ini, di mana- mana telah terjadi proses interaksi yang saling memengaruhi. Kemudian membentuk wajah pengetahuan yang plural, toleran, dan bersahabat.
Sufi adalah sebuah tradisi indah di dalam Islam. Ia memberi banyak inspirasi manusia yang berkarya di Barat. Jalalludin Rumi telah lama menjadi Albert Einstein-nya dunia Sufi. Paralelisme antara ajaran-ajaran Buddha dan ajaran-ajaran Yesus dilakukan banyak penulis. Bali sebagai salah satu koridor global juga membukakan sebuah kecenderungan. Bom teroris memang menyengsarakan, tetapi ia tidak cukup kuat untuk menyeret manusia kembali ke sentimen primordial yang lebih menyengsarakan lagi. Semua ini, seperti sedang bercerita ke umat manusia, tidak saja dalam pengetahuan sekat-sekat mulai roboh, dalam spiritualitas pun tembok-tembok pemisah mulai runtuh. Mahatma Gandhi lahir, bertumbuh, dan meninggal di keluarga Hindu.
Namun, begitu menyangkut perjuangan tanpa kekerasan, ia menjadi acuan banyak sekali orang Islam, Kristen, Katolik, dan Buddha. Gandhi telah menjadi Max Weber- nya gerakan antikekerasan. Nelson Mandela bertumbuh di keluarga Kristiani, tetapi keteladanannya dalam hal memaafkan masa lalu menjadi cahaya penerang banyak sekali manusia.
Hujan, sungai, dan laut
Anak-anak di sekolah dasar hanya sedikit yang bisa bergelar doktor nantinya. Pejalan kaki ke dalam diri juga sama. Amat sedikit yang bisa sampai di puncak gunung, seperti Rumi, Mandela, dan Gandhi. Sebagaimana dicontohkan alam, kebanyakan orang memulai perjalanan seperti hujan. Jalannya kencang, menghujam setiap hal yang ada di bumi. Ini yang bisa menjelaskan mengapa sebagian lebih generasi muda mengisi keseharian (belajar, bekerja) sambil bernyanyi lirik lagu maju tak gentar, membela yang bayar.
Orangtua spiritual
Melihat hanya segelintir manusia yang bisa memasuki wilayah laut, ada kepolosan mau tahu silsilah spiritual manusia- manusia jenis ini. Ia mengingatkan pada cerita tentang anak kampung yang melihat tukang balon terbang. Suatu hari anak dengan uang pas-pasan ini melihat tukang balon terbang berjualan laris sekali. Ketika pembelinya sudah sepi, tukang balon memompa balon warna lain. Dengan polos anak kampung bertanya: ”Bang memangnya warna hitam bisa terbang juga?”. Dengan sabar, tukang balon menjawab: ”Nak, bukan warna luar yang membuat balon bisa terbang, tetapi sesuatu yang ada di dalam”.
Dalam bahasa Vivekananda: when the blossoms vanish, the fruits appear. Tatkala bunganya layu, buahnya muncul. Bila penampilan luar (pujian, kekayaan) sudah mulai kehilangan daya tariknya, ada penampilan dari dalam (rasa syukur, rendah hati) yang muncul sebagai pengganti. Itu sebabnya laut merendah, mensyukuri apa saja yang datang. Hasilnya, laut agung tidak terkira. Ia yang berguru pada laut sedalam ini sudah menemukan orangtua spiritualnya.
Sebagai Ibu, laut adalah simbolik cinta karena apa saja yang datang diolah penuh cinta. Sebagai ayah, laut adalah wakil keikhlasan sempurna karena menerima apa saja tanpa keserakahan memilih. Inilah silsilah spiritual manusia-manusia agung, Ibunya cinta, Ayahnya keikhlasan. Dalai Lama pernah berpesan, If you want others to be happy, practice compassion. If you want to be happy, practice compassion. Mempraktikkan welas asih, itulah rahasia kebahagiaan.
Dalam bahasa seorang guru Mahamudra, If one can rest the mind naturally, that’s the supreme meditation. Saat batin bisa beristirahat secara alami, itulah puncak meditasi. Keikhlasan berkontribusi besar dalam membuat batin beristirahat dalam kealamian. Ibarat burung elang yang terbang indah di angkasa, demikian juga kehidupan yang berjumpa orangtua spiritualnya: ikhlas, bebas, dan lepas
Lukisan Indah Kebijaksanaan
Terowongan gelap tidak berujung, mungkin itu metafora kehidupan zaman ini. Kekayaan kehidupan anak-anak biasanya harapannya akan masa depan. Dan, saat tua tidak sedikit yang membanggakan masa lalu.
Keadaannya mirip kucing yang mengejar bayangannya sendiri. Pada pagi hari (masa muda) bayangannya ada di barat dikejar dan tidak ketemu. Pada sore hari (umur tua) bayangannya ada di timur, lagi-lagi dikejar juga tidak ketemu. Sadar bahaya ini, ada yang memotong lingkaran kegelapan dengan meyakini kehidupan berawal pada masa sekarang dan berakhir pada masa sekarang.
Masa lalu telah berlalu, masa depan belum datang. Namun, melalui tindakan pada masa kini, keduanya bisa dibuat kian terang atau gelap. Sebutlah Ibu yang sudah meninggal, tetapi belum sempat dibahagiakan. Masa lalu membuat kehidupan kian suram jika masa kini diisi penyesalan, rasa bersalah, tidak bisa memaafkan diri sendiri. Sebaliknya ini bisa menjadi awal terang jika pengalaman tidak mengenakkan ini dijadikan titik awal untuk banyak membahagiakan orang
Guru sebagai cahaya
Inilah tanda-tanda manusia yang mulai terbimbing. Dalam setiap kejadian (menyenangkan maupun menjengkelkan) ada cahaya bimbingan. Di Timur, ia disebut munculnya guru simbolik. Tidak ada kebetulan, semua hanya bimbingan. Cuma, sebagian bisa dimengerti kini, sebagian dimengerti nanti.
Sayang, amat sedikit manusia yang lahir di zaman ini memiliki berkah spiritual berjumpa guru. Untuk itu, bagi orang-orang mengagumkan, seperti Jalalludin Rumi, perjumpaan dengan guru adalah berkah spiritual yang amat disyukuri. Segelintir sahabat yang berjumpa guru menyebutkan, hanya dengan mendengar namanya sebagian ketakutan akan neraka langsung sirna.
Karena itu, tidak sedikit pencari yang menghabiskan waktu, tenaga, dan dana untuk mencari guru. Idealnya, pencarian dimulai dengan berjumpa guru hidup. Lalu perintahperintah guru hidup ini diperkaya guru dalam bentuk buku suci. Ia yang sudah memadukan guru hidup dengan buku suci lalu berjumpa guru simbolik dalam keseharian. Puncaknya tercapai saat ketiga guru ini menjelma menjadi guru dalam diri. Orang jenis ini seperti membawa lentera ke mana-mana. Tidak ada lagi kegelapan yang tersisa.
Kematian
Bagi mereka yang belum diberkahi perjumpaan dengan guru hidup, disarankan menjaga diri dengan etika. Praktik serius etika ini mungkin membimbing seseorang
menjumpai guru simbolik. Di antara banyak guru simbolik, kematian adalah guru simbolik paling agung.
Perhatikan pendapat Dzogchen Ponlop dalam Mind beyond death: ”in order to die well, one must live well”. Agar matinya indah, belajarlah hidup secara indah (baca: hidup penuh cinta).
Maka, tidak sedikit guru meditasi yang menggunakan kematian sebagai sumber air perenungan yang tidak habis-habis. Pertama-tama meditator membayangkan tubuhnya mati. Badan kaku, membiru, orang-orang dekat menangis dan seterusnya.
Bila boleh jujur, tiap hari kita mengalami kematian. Seusai sarapan, kita berpisah dengan rasa enak (matinya rasa enak di mulut). Berangkat ke kantor, manusia berpisah dengan rasa nyaman di rumah (matinya rasa nyaman tinggal di rumah). Mengakhiri meditasi, meditator berpisah dengan keindahan konsentrasi (matinya kedamaian meditasi). Dalam wajahnya yang mendasar, kematian menakutkan karena ada perpisahan. Bila terbiasa dengan perpisahan sehari-hari, perpisahan melalui kematian akan menjadi suatu yang biasa.
Ajaran Tibetan book of the dead, wajah kematian terindah bertemu saat semua tahapan antara kematian dan kehidupan berikutnya (bardo) terlewati secara tenang-seimbang. Maka, disarankan untuk memperlakukan semua kejadian dalam hidup (dipuji-dicaci, sukses-gagal, meditasi sampai mimpi) sebagai bardo. Tidak ada apa- apa, yang menyenangkan maupun menakutkan hanya pancaran kesadaran murni. Sebagaimana dinyanyikan berulang-ulang oleh pertapa Milarepa: ”death is not a death for a yogi; it is a little enlightenment”. Dalam kehidupan pertapa, kematian muncul tanpa ditemani ketakutan, ia hanya sebuah pengalaman kecil pencerahan.
Merenungkan Pikiran Erotis
”Kemenangan yang sejati adalah mengalahkan diri sendiri” (Miguel de Cervantes dalam Don Quixote). Manusia-manusia mulia atau mereka yang tercerahkan mengajarkan bahwa solusi untuk berbagai derita hidup tidak berada di luar, tetapi di dalam diri kita. Keberhasilan menemukan jati diri ditopang oleh keinginan kuat untuk mengenal gejolak-gejolak batin, mengamati gerak-geriknya, menenangkannya, dan berkuasa atasnya.
Salah satu dari gejolak kejiwaan yang tersulit untuk dihadapi adalah pikiran. Banyak tradisi mistis menekankan perlunya menenangkan pikiran. Bila berhasil, pikiran yang teduh akan muncul dan membuka jalan menuju keintiman dengan Yang Ilahi. Proses inilah yang kerap digambarkan sebagai rute tubuh-pikiran-jiwa-roh (body-mind-soul- spirit). Kesulitan menenangkan pikiran disebabkan oleh fluktuasinya yang liar, supercepat, dan sering kali berada di luar kontrol kesadaran. Siddharta Gautama mengungkapkannya lebih jelas ketika ia mengatakan bahwa dalam satu kedipan mata, ada 17 x 1.021 momen pikiran yang berfluktuasi. Amat sibuk!
Pikiran simbolis
Saat ini ada gejolak pikiran yang cukup ramai dibicarakan, yaitu pikiran erotis (erotic mind). Di satu sisi, ada keinginan baik untuk mengontrol dan mengawasi ”kenakalan” pikiran ini lewat Rancangan Undang-Undang Pornografi yang sudah ditetapkan sebagai undang-undang. Harapan mulianya adalah moralitas masyarakat menjadi lebih baik.
Di sisi lain, muncul argumen-argumen yang menolaknya dengan alasan: menyesatkan secara substansial, melukai pluralitas, mengalihkan permasalahan esensial, mengancam industri kreatif, mengeksplotasi wanita, memunculkan inkonsistensi internal dalam undang-undang.
Kita sibuk membicarakan manusia sebagai makhluk yang akrab dengan simbol. Simbol berarti sesuatu yang mengatakan tentang sesuatu yang lain. Ketika pengendara melihat nyala merah lampu lalu lintas, ia menghentikan kendaraannya. Nyala merah mengatakan perintah untuk berhenti.
Inilah kekhasan manusia. Ia membentuk sekaligus mengerti simbol. Ketika simbol dimaknai, pengalaman individual dan kultural ikut berbicara.
Pria korban pornografi
Gejolak seksual (sexual arousal) melekat dengan kondisi riil kita sebagai makhluk bertubuh. Adalah wajar bila kita hidup dengan hasrat seksual, tetapi menjadi janggal ketika kita hidup demi hasrat seksual. Kehadiran pornografer atau pornoaktor adalah respons bagi mereka yang hidup demi hasrat seksual di mana wanita kerap dijadikan pajangan.
Mengapa harus wanita? Dalam teori interaksionisme simbolis, gambaran mental kita tentang pria dan wanita adalah produk dari wacana yang ramai diobrolkan masyarakat. Salah satu wacana besar tentang seksualitas menyatakan, laki-laki lebih sering memikirkan seks, melakukan masturbasi, atau menginginkan hubungan seksual.
Jelas bahwa baik pria maupun wanita dirugikan lewat pornografi dan pornoaksi. Pornografi menjauhkan kita dari makna lebih dalam hubungan pria-wanita. Ketika suami jauh dari istri, apakah ia sibuk memikirkan kaki, tangan, mata, pinggul, atau rambut istrinya? Saya kira tidak. Pikiran yang lebih dominan adalah kecemasan berada jauh dari cinta dan perhatian sang istri
Esensi kewanitaan bagi kita (pria dan wanita) perlu kembali dihidupkan. Setiap kita punya ibu yang adalah wanita, saudara kandung yang adalah wanita, atau sahabat karib yang juga adalah wanita. Mereka ini menghadirkan makna paling dasar dari hubungan pria-wanita yang kualitasnya digerus pornografi.
Sentuhan inheren
Kembali ke pikiran terkonsentrasi. Salah satu teknik yang diajarkan dalam tradisi Timur untuk sampai pada pikiran ini adalah apa yang dalam pemikiran Barat disebut mindfulness atau yang dalam pemikiran Jawa disebut awas. Awas adalah upaya pribadi mengenali gejolak-gejolak batin (self-awareness).
Menumbuhkan kesadaran sebaiknya tidak melulu berupa paksaan dari luar. Ketika seorang ibu melihat anaknya bermain pisau, ia bisa saja mengatakan, ”Jangan bermain pisau!”. Cara seperti ini sering kali manjur untuk memaksa anak berhenti. Sayangnya, si anak tidak menyadari alasannya. Ada cara lain. Ibu bisa mengambil sepotong daging mentah, menyayatnya dengan pisau, dan mengatakan, ”Ini lho bahayanya kalau kamu main pisau”. Cara ini mengajak anak berhenti sambil menyadari bahaya main pisau
Rakyat sebagai Kekasih Sejati
Beberapa bulan sebelum Indonesia masuk 2009, orang saling bertanya: ”Siapa ya, sebaiknya presiden kita nanti?” Kemudian mereka menyebut sejumlah nama, membandingkannya, memperdebatkannya, atau membiarkan nama- nama itu berlalu dalam dialog yang tak selesai.
Atmosfer dialog tentang calon presiden diwarnai oleh berjenis-jenis nuansa, latar belakang ilmu dan pengetahuan, kecenderungan budaya, fanatisme golongan, pandangan kebatinan, juga berbagai wawasan yang resmi maupun serabutan. Namun, semuanya memiliki kesamaan: perhatian yang mendalam kepada kepemimpinan nasional dan cinta kasih yang tak pernah luntur terhadap bangsa, tanah air, dan negara.
Memiliki pola kearifan
Rakyat Indonesia, entah apa asal-usul genealogis dan peradabannya dahulu kala, memiliki pola kearifan, empati dan toleransi, serta semacam sopan santun yang khas dan luar biasa. Bagi rakyat, Ibu Pertiwi itu semacam Ibunya, Negara (KRI) itu semacam Bapaknya, dan pemerintah itu kekasihnya. Kekasih yang selalu disayang, dimaklumi, dimaafkan. Suatu saat rakyat bisa sangat marah kepada pemerintah, tetapi cintanya tetap lebih besar dari kemarahannya sehingga ujung kemarahannya tetap saja menyayangi kembali, memaklumi, dan memaafkan.
Rakyat Indonesia sangat tangguh sehingga posisinya bukan menuntut, menyalahkan, dan menghukum pemerintahnya, melainkan menerima, memafhumi kekurangan, dan sangat mudah memaafkan kesalahan pemerintahnya. Bahkan, rakyat begitu sabar, tahan dan arifnya tatkala sering kali mereka yang dituntut, dipersalahkan, dan dihukum oleh pemerintahnya. Itulah kekasih sejati.
dalam menghayati cinta kata-kata kunci untuk menghayatinya adalah kebebasan dan kebahagiaan. Namun sangat sulit untuk memetik kebahagiaan dan kebebasan tersebut
PENDAHULUAN
Cinta kasih, kasih sayang, kemesraan, pemujaan, dan belas kasihan merupakan bagian hidup diri manusia. Bentuk-bentuk kehidupan yang dipenuhi rasa cinta kasih dan kasih sayang dapat membangkitkan kreativitas manusia. Untuk mengungkapkan rasa kasih sayang dan cinta kasih dapat melalui beberapa media. Melalui media bahasa, lahirlah seni sastra; dengan media garis, warna, dan bentiik, lahirlah seni rupa; dengan media nada, irama, dan suara, lahirlah seni musik, dan lain-lain
Menurut Purwodarminto, cinta kasih adalah perasaan sayang, perasaan cinta, dan perasaan suka pada seseorang. Secara sederhana cinta dapat dikatakan sebagai paduan rasa simpati antara dua makhluk. Rasa simpati ini tidak hanya berkembang di antara pria dan wanita, akan tetapi dapat pula di antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita. Dalam kehidupan keluarga, kasih sayang atau cinta kasih merupakan kunci kebahagiaan. Dalam kasih sayang, sadar atau tidak sadar dan masing-masing pihak dituntut rasa tanggung jawab, pcngorbanan, kejujuran, saling percaya, saling pengertian, saling terbuka, sehingga keduanya merupakan kesatuan yang utuh. Bila salah satu unsur kasih sayang itu hilang, sebagai misal tanggung jawab, maka retaklah keutuhan rumah tangga itu.Sebagai contoh seorang ibu yang sadar akan peranannya sebagain orang tua akan sangat mengasihi dan menyanyayangi anaknya ini dikarenakan Ibu itu paham betul tugasnya sebagai seorang ibu dan ibu itu juga bahagia melakukan tugas tersebut demi anaknya.
Perbedaan cinta dengan nafsu dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. cinta bersifat manusiawi. Pada manusia cinta dapat tumbuh dan berkembang, sedangkan pada binatang hanya terbatas pada nalurinya untuk melindungi.
b. cinta bensifat rohaniah, sedangkan nafsu sifatnya jasmaniah. Luapan cinta seseora memberikan semangat dalam hidupnya dan bagi yang menerimanya dirasakan sebagai kebahagiaan. Sementara nafsu yang jasmamah cenderung untuk memuaskan dorongan seksual.
c. cinta menunjukkan perilaku memberi, sedangkan nafsu cenderung menuntut. Pemberian cinta dilakukan secara halus karena rohaniab sifatnya, sedangkan dorongan nafsu mudah dilakukan sebagai paksaan.
Menurut Fromm (1983), cinta itu terutama memberi bukan menerima dan memberi merupakan ungkapan paling tinggi dan kemampuan. Hal yang paling penting dalani memberi adalah yang sifatnya manusiawi, bukan materi. Cinta selalu menyatakan unsur unsur dasar tertentu, yaitu pengasuhan, tanggung jawab, perhatian, dan pengenalan.
Menurut Sarwono (dalam Supartono,1996) bahwa cinta ideal memiliki tiga unsur, yaitu keterikatan, keintiman, dan ikatan adalah adanya perasaan untuk bersama dia, secara totalitas untuk dia, tidak mau bersama orang lain kecuali dengan dia.
Berbagai Bentuk Cinta
1. Cinta Persaudaraan
Cinta persaudaraan (agape dalam bahasa Yunani) diwujudkan manusia dalam tingkah laku atau perbuatannya. Cinta per saudaraan tidak mengenal adanya batas-batas manusia yang berdasarkan suku bangsa, bangsa, ataupun agama. Dalam cinta mi semua manusia sama, yaitu sebagai makhluk ciptaan Allah. Cinta persaudaraan pada umumnya melekat dengan sikap tanpa pamrih. Secara filosofis dibuatkan dengan jargon “cintailah sesamamu seperti engkau mencintaidirimu sendiri”.
2. Cinta Keibuan
Kasih sayang yang bersumber pada cinta keibuan yang paling ash adalah yang terdapat pada seorang ibu terhadap anak kandungnya. Seorang ibu yang memperoleh benih anak dan suaminya tercinta akan memeliharanya secara hati- hati dan penuh kasih sayang. Setelah anak lahir melalui penderitaan yang hebat dan ibu, dirawat dan diasuhlah anak dengan penuh kasih sayang. Dalam proses pengasuhan itu terdapat serangkaian tugas yang harus dilakukan ibu, yaitu menyusui, merawat, menemani, memandikan, membelai, dan sebagainya. Bagi seorang ibu tidak ada harta yang paling berharga kecuali kehadiran anak, yang dianggap sebagai buah hati.
3. Cinta Erotis
Kasih sayang yang bersumber dan cinta erotis (sifat membirahikan), memang merupakan suatu yang sifatnya eksklusif sehingga sering memperdayakan cinta yang sebenarnya. Hal mi terjadi karena antara cinta dan nafsu dipersepsikan secara sama. Padahal jika dicermati secara seksama, keduanya memihiki pengertian yang berbeda bahkan bertolak belakang. Kasih sayang dalam cinta erotis merupakan kontak seksual yang ash dan yang ideal bersumber dan cinta. Kasih sayang erotis dapat menjadi perekat hubungan suami istri dalam membina hidup berkeluarga.
4. Cinta Diri Sendiri
Pada din individu, di samping harus mencintai sesama juga ada keharusan mencintai din sendiri (self love). Banyak orang menafsirkan bahwa cinta kepada din sendiri identik dengan & Jika hal mi yang terjadi maka cinta pada din sendiri int nilai negatif. Namun esensi mencintai din sendiri Incrigurus din sendiri sehingga kebutuhan jasmani dan rohaninya terpenuhi secara wajar. Setiap individu wajib niencintai dininya sendiri.
5. Cinta pada Allah
Cinta pada Allah merupakan perwujudan pengabdian manusia ketika hidup di dunia. Orang yang cinta pada Allah umumnya disebut religius atau taat beragama.
HAKIKAT CINTA
SATU Sejauh cinta ditelusuri dalam bingkai kepentingan publik luas, barangkali bukan saja di Indonesia melainkan di seluruh jagat, sulit ditemukan cinta yang sejati. Meski para koruptor dan pelanggar HAM tingkat kakap masih menyimpan cinta bagi anak istri suami kerabat sahabat dan klik sendiri, tetapi sebab ujungnya merugikan kepentingan umum, maka cinta mereka agaknya bukan cinta melainkan "cinta". Masalahnya, cinta tidak pernah berdusta.
cinta menyangkut individu, dan tiap individu mau tak mau akan selalu berurusan dengan cinta, tidak mengherankan jika cinta, di zaman apa saja, selalu laku dan laris sebagai sebuah tema. Mengapa? Sebab, tak bisa digugat, cinta merupakan perasaan terpenting dan terindah dalam hidup manusia, tapi sekaligus, ia juga fenomena psikis yang mempengaruhi jalan pikiran sehingga orang terkecoh mempercayai aneka mitos yang tidak benar.
bisakah cinta menjadi ilmu pengetahuan? Di universitas mana diajarkan ilmu cinta ini? Apa nama ilmunya? Di lingkungan fakultas apa ilmu ini diajarkan?
Sampai sekarang, tidak pernah jelas jawabnya, kecuali bahwa cinta adalah fenomena atau gejala psikis. Cinta adalah gejala kejiwaan. Ia tak bisa ditelusuri atau diteliti, sekurang-kurangnya sampai saat ini, dengan metode penelitian ilmu-ilmu murni atau eksakta, yang bisa diandalkan obyektivitasnya.
Itu bukan berarti bahwa mengenai cinta, tidak pernah bisa dikatakan sesuatu yang berlaku umum dan absah, tetap bisa, sekalipun cinta lebih mengacu pada pengalaman individual, pengalaman pribadi, pengalaman perseorangan, yang bagi tiap individu selalu unik dan hanya satu-satunya.
Pengalaman ini tak bisa diukur di laboratorium. Sampai sekarang belum ditemukan alatnya, dan entah apa memang akan ada alatnya. Mengenai cinta, orang hanya bisa mendiskripsikan, merumuskan, membicarakan, yang tentu saja, karena ini bersifat pengalaman individual, tak bisa dihindari akan bersifat subyektif. Menelusuri cinta tak bisa lepas dari subyektivitas perseorangan
Sebab kunci memahami cinta adalah pengalaman pribadi, maka ukuran atau normanya adalah pribadi yang bersangkutan. Norma cinta adalah anda sendiri, diri kita sendiri yang mencinta. Kitab suci, peraturan dan segala wasiat para bijak atau nabi hanyalah alat bantu. Sebab pada akhirnya terpulang pada diri kita sendiri. Norma utamanya adalah anda sendiri, kita sendiri. Norma-norma di luar diri kita, adalah tetek-bengek, yang jika mengganggu, tak usah digubris!
Jika isi batin terbangun, maka terbuka perasaan. Jika perasaan terbuka, akal tak menjadi kaku melulu rasional-intelektualistik, melainkan jadi akal yang diterangi budi. Nah, inilah yang disebut akal budi. Jadi, cinta adalah perkara akal budi. Hanya akal- budi yang mampu menerangkan penghayatan. Cinta adalah soal penghayatan atau pengalaman individu dalam suatu suasana tertentu.
Karena itu, cinta adalah suasana. Sebuah situasi yang dialami pribadi-pribadi tertentu. Yakni suasana manakala hati, akal-budi dan batin bangkit dan merasa bebas dan bahagia. Kebebasan dan kebahagiaan adalah kata-kata kunci untuk memahami cinta. Bebas dan bahagia tidak ada, adalah tanda tak adanya cinta
Satu hal menyedihkan tentang cinta adalah, sampai saat ini, banyak manusia tak pernah bisa total, tuntas dan purna dalam memperkembangkan cinta mereka. Cinta mereka terhalang banyak kendala. Memang, kendala-kendala itu, ada yang benar dan baik. Tapi yang terbanyak dalam kehidupan sehari-hari, kendala-kendala itu bikinan dan semu, alias kendala-kendala mubazir, atau bukan berhala yang dibesar-besarkan seolah berhala, hanya akal-akalan dan demi kepentingan pihak-pihak tertentu, yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan sang pencinta sendiri.
Dengan ini mau dikatakan, segala hal di luar sang pencinta, entah itu norma atau hukum atau tradisi atau apa saja, bukanlah di tempat pertama, sejauh itu tidak membawa kebahagiaan, kepuasan, kesehatan dan kebijaksanaan. Cinta adalah jalan menuju ke kebahagiaan, kepuasan, kesehatan dan kebijaksanaan. Anda dalam naungan cinta jika anda bahagia, puas, sehat dan bijak. Dan puncak cinta adalah ketika sang pencinta mengenal dan menemukan dirinya sendiri.
Cinta, memang soal kejiwaan, kejiwaan individu, kejiwaan personal. Tetapi ilmu jiwa sendiri, psikologi, tidak secara langsung dan lugas serta eksplisit mengangkat cinta sebagai disiplin ilmu yang tegas. Yang kita temukan dalam psikologi adalah tes- psikologi, psikologi klinis, psikologi perkembangan, ilmu tingkah laku dan ilmu karakter, psikologi periklanan, psikologi perusahaan, statistik orgamus, dan sejenisnya. Tapi, di mana itu psikologi cinta?
Jadi, cinta dalam psikologi sukar ditentukan letaknya. Sebab cinta tak dapat diteliti hanya ilmiah empiris-eksperimental. Secara kuantitatif ia tak bisa diukur dan tak bisa dihitung dengan utak-atik komputer.
DIALEKTIKA KASIH VERTIKAL: Cinta Manusia terhadap PenciptaNya)
Semua agama yang dikenal manusia, memandang dunia sebagai ujian, gelanggang tempat manusia ditempa menjadi makhluk yang lebih mulia. Dunia adalah sejenis kelas di mana manusia dididik untuk mengembangkan kapasitas-kapasitasnya.
Dalam sejarah, setidaknya ada dua kutub besar pandangan tentang dunia sebagai gelanggang. Kutub pertama adalah mereka yang melihat dunia sebagai kelas taman kanak-kanak. Mereka ini memang menganggap bahwa manusia pada dasarnya adalah bocah culun yang mungkin saja semurni malaikat tetapi sangat mudah menjadi mangsa setan. Manusia bahkan dianggap sangat gampang menjadi setan itu sendiri.
Dalam sepetak kelas taman kanak-kanak, kehadiran sebuah otoritas kasat mata, sangatlah diperlukan. Sebuah kelas kanak-kanak tanpa kehadiran seorang guru yang disegani, akan segera berubah menjadi kancah kacau-balau, yang pada akhirnya hanya akan merugikan kanak-kanak manis dan murni itu sendiri. Sekejap saja sang guru hilang dari pandangan anak-anak mungil itu, maka sejumlah anak mulai naik berdiri di atas bangku dan menyanyi bersahut-sahutan sekencang-kencangnya dengan nada yang mungkin sumbang. Sebagian lagi mulai main kejar-kejaran, saling sambit kue lalu saling jambak rambut yang kemudian disertai dengan acara tangis-tangisan — acara yang sebelumnya sudah dimulai oleh gadis-gadis mungil centil yang sembari bangkit membetulkan rambut dan kancing bajunya mengeak tersinggung dianggap tak cukup jago main dokter-dokteran. Anak-anak yang lebih pendiam mungkin akan mulai menggambari dinding kelas dengan sosok ajaib yang wajahnya adalah paras sang guru namun tubuhnya mungkin serupa kodok atau kura-kura. Jika seorang anak menemukan korek api, tak mustahil kelas yang indah itu akan dibakar menjadi api unggun.
Dorongan besar untuk menyelamatkan sesama ummat, adalah hal universal dalam diri manusia. Bahkan bisa dikatakan bahwa evolusi terbesar yang dicapai spesies manusia adalah berkembangnya dorongan untuk mengorbankan diri sendiri demi keselamatan kelompok yang lebih besar. Sebagai sesuatu yang universal, dorongan ini tentu tidak hanya tumbuh dalam satu agama atau mazhab tertentu saja. Karena potensial tumbuh di mana pun, sementara ajaran-ajaran agama dan mazhab bisa tampak tak senantiasa seiring, maka tak jarang dorongan universal ini saling tabrak, saling tumpas. Agama- agama atau mazhab-mazhab yang bertarung untuk menyelamatkan ummat ini, sangat sering terseret ke kancah yang oleh Karen Armstrong disebut sebagai “Berperang Demi Tuhan”. Barangkali sebutan yang lebih tepat untuk gejala besar ini adalah “Berperang Menghadirkan Tuhan, Demi Menyelamatkan Ummat”. Dalam rentetan peperangan yang usianya hampir setua usia peradaban manusia itu, banyak hal yang memang kemudian tergilas.
Yang paling gampang tergilas, atau setidaknya yang paling sering jadi sasaran dalam perang tua itu, adalah kutub pandangan dunia yang lain, yang juga memandang dunia ini sebagai kelas, namun bukan sebagai ruang taman kanak-kanak melainkan ruang para mahasiswa dan mahasarjana. Dunia buat mereka adalah kelas yang memang sedang menjalankan ujian kenaikan tingkat di mana mereka boleh membawa buku sebanyak-banyaknya. Dalam ujian itu, yang terpenting adalah mengerti soal ujian dan berupaya memecahkannya, bukan ada tidaknya sang mahaguru di tengah kelas. Sosok fisik sang mahaguru bahkan sebaiknya tak ada lagi di tengah ruang, mondar-mandir bersiul dan berdeklamasi dengan pengeras suara menganggu konsentrasi. Perjuangan untuk menghadirkan sang mahaguru di kelas, peperangan untuk menghadirkan jeratanjeratan kognitif manusia atas Tuhan di dunia, adalah kesibukan yang buat mereka benar-benar tak masuk akal sehat. Mustahil mahaguru yang baik akan hadir di tengah kelas, lalu membantu khusus satu dua mahasiswa yang berlumur do’a dan airmata untuk mengisi kertas-kertas ujian mereka, sambil tak lupa meng-order para malaikat agar menjerumuskan seluruh mahasiswa yang asik berpikir dan tak sempat berdo’a saking takjubnya. Kalau pun ada mahaguru yang seperti ini, ia tentulah bukan mahaguru yang layak disapa.
Hakim Yang Manusia
Buruknya pula, semua orang suka jadi hakim. Dan, hakim yang bodoh adalah secelaka- celakanya keadaan.
Kebodohan ini pulalah yang sudah membunuh Socrates, Giordano Bruno, dan Galileo, dan Jesus. Begitu kata Pramoedya Ananta Toer dalam cerpen Dendam.
Setiap hari kita menghakimi orang lain, baik yang kita kenal dalam kehidupan sehari- hari maupun yang kita kenal melalui kata-kata dan gambar. Manusia menganggap pikiran dan pengetahuannya sendiri yang paling benar. ltulah yang merupakan pasal- pasal dan perundangan dirinya untuk menghakimi orang lain. Manusia lain itu penuh kesalahan dan dirinyalah yang paling benar.
Kebenaran
Apakah salah dan benar itu? Salah dan benar itu paradoks. Sesuatu dinilai benar oleh guru, di mata murid-murid salah. Benar menurut tentara, salah besar menurut rakyat. Benar oleh orang kelaparan, salah bagi mereka yang kekenyangan. Ahli pikir yang satu berseberangan dengan ahli pikir yang lain. Jadi, mana yang benar dan mana yang salah? Setiap orang mempunyai "kebenaran" sendiri. Dan kebenaran itulah yang dipakai untuk menghakimi yang lain. Nilai salah dan benar seperti itu pada dasarnya adalah pengetahuan, yaitu pendidikan. Jadi, bersifat subyektif, baik individual maupun kolektif. Setiap orang dididik untuk belajar pasal-pasal kebenaran dan kesalahan dalam berbagai versinya. Dan seperti kita lihat, bisa saling bertentangan. Yang benar dinilai salah, yang salah dinilai benar, tergantung dari "ajaran" mana Anda berasal. Saling ngotot dalam mempertahankan kebenaran masing-masing hanya mungkin diakhiri dengan perang. Pengetahuan saya yang hidup atau pengetahuan Anda yang mati. Tetapi, salah dan benar itu berupa tindakan, peristiwa, nyata ada dan semua manusia mampu melihatnya. Salah dan benar itu juga obyektif. Kejadiannya memang demikian. Perbuatan dan tindakannya memang demikian. Itulah yang ada, yang terjadi, menyejarah. Dan, penghakiman itu juga nyata. Penghakiman itu bukan hanya terjadi dalam kepala. Penghakiman itu empirik.
Hati Nurani Benar dan salah itu bisa dicari dalam bentuk peristiwa itu sendiri, bukan dari pasal- pasal pikiran subyektif. Nilai-nilai benar dan salah tersebut telah ada dalam bentuk tindakan. Dan pasal-pasalnya tidak bisa ditulis atau diungkapkan karena berada di kedalaman nurani manusia. Kebenaran obyektif itu bersifat spirifual. Orang banyak
menyebutnya "Hati Nurani". Dari anak-anak sampai kakek-kakek, dari yang bodoh sampai yang tinggi pengetahuan, dari yang berkuasa sampai yang dikuasai, dari satu ajaran kebenaran sampai ajaran kebenaran yang lain, dari yang termiskin sampai yang kaya raya, semua memiliki kebenaran itu. Tetapi kebenaran itu ada di lubuk hati manusia. Biasanya baru disadari dalam renungan yang mendalam.
Penghakiman, menentukan benar dan salah, adalah kesesuaian antara hati nurani dan peristiwanya sendiri. ltulah keadilan. Hati nurani melihat, manusia tidak melihatnya. Bertindak adil, menghakimi secara adil, adalah penghakiman hati nurani yang melewati proses perenungan yang tidak sederhana.
Menghakimi secara cepat adalah penghakiman subyektif manusia. Menghakimi manusia lain itu tidak bisa serta-merta dengan bekal kebenarannya sendiri-sendiri. Menghakimi itu merenungi. Dan selama merenung jangan berbuat apa-apa, juga dalam ucapan, apalagi tindakan. Itulah yang oleh Pramoedya disebut "hakim yang bodoh".
Kebenaran Subyektif
Kalau manusia mau bertindak sebagai hakim, ia harus cerdas secara subyektif. Orang ini menyadari, nilai-nilai kebenarannya subyektif, dan karena itu terbatas. Untuk itu ia harus terbuka, toleran, mau mendengar "kebenaran-kebenaran" yang lain. Hakim yang bodoh adalah hakim yang berkacamata kuda. Hanya melihat satu arah dan tidak mau mendengarkan arah kiri kanan dan belakang. Sejarah membuktikan, penghakiman seperti ini memakan korban seperti disebutkan Pram, Socrates, Galileo, Bruno, dan ribuan yang lain.
Jika manusia mau bertindak sebagai hakim juga harus cerdas secara spiritual, maka ia bukan hanya harus terbuka bagi pengalaman empiriknya, tetapi juga terbuka bagi pengalaman transendennya. Kepekaan transenden kadang menghasilkan sesuatu yang paradoksal dipandang dari pengalaman empirik atau ajaran "baku" subyektifnya. Kebenaran yang nyleneh, di luar kebiasaan. Kebenaran nurani kadang menyakitkan bagi yang berkacamata kuda.
Ibunya Cinta, Ayahnya Keikhlasan
Dalam ilmu pengetahuan sudah lama dikenal archaeology of knowledge yang memberi inspirasi bahwa pengetahuan pun ada silsilahnya. Dalam karya indah Fritjof Capra berjudul The Tao of Physics bisa ditemukan tidak saja jejak-jejak pengetahuan Newton, Einstein, dan Heisenberg, tetapi juga bisa ditemukan sidik-sidik jari Confusius, Buddha, dan Krishna. Di bagian tertentu temuan Fritjof Capra (doktor fisika kelahiran Austria) tentang atom dan subatom, bahkan diberi judul The Dancing of Shiva. Yang menggembirakan, tidak saja di Barat ada sintesis Barat- Timur ala Fritjof Capra, di Timur juga ada sintesis serupa, Yongey Mingyur Rinpoche dalam The Joy of Living, tidak saja fasih berbicara meditasi, tetapi juga mendalam ketika mengulas fisika, biologi, sampai psikologi kognitif. Bila ia fasih dengan nama-nama seperti Dalai Lama, Karmapa, Tilopa, Marpa, dan Milarepa bisa dimaklumi karena punya darah Tibet
Mingyur Rinpoche juga fasih dengan karya-karya Niels Bohr, Albert Einstein, sampai ahli biologi Francisco J Varela. Apa yang mau dikemukakan melalui dua contoh ini, di mana- mana telah terjadi proses interaksi yang saling memengaruhi. Kemudian membentuk wajah pengetahuan yang plural, toleran, dan bersahabat.
Sufi adalah sebuah tradisi indah di dalam Islam. Ia memberi banyak inspirasi manusia yang berkarya di Barat. Jalalludin Rumi telah lama menjadi Albert Einstein-nya dunia Sufi. Paralelisme antara ajaran-ajaran Buddha dan ajaran-ajaran Yesus dilakukan banyak penulis. Bali sebagai salah satu koridor global juga membukakan sebuah kecenderungan. Bom teroris memang menyengsarakan, tetapi ia tidak cukup kuat untuk menyeret manusia kembali ke sentimen primordial yang lebih menyengsarakan lagi. Semua ini, seperti sedang bercerita ke umat manusia, tidak saja dalam pengetahuan sekat-sekat mulai roboh, dalam spiritualitas pun tembok-tembok pemisah mulai runtuh. Mahatma Gandhi lahir, bertumbuh, dan meninggal di keluarga Hindu.
Namun, begitu menyangkut perjuangan tanpa kekerasan, ia menjadi acuan banyak sekali orang Islam, Kristen, Katolik, dan Buddha. Gandhi telah menjadi Max Weber- nya gerakan antikekerasan. Nelson Mandela bertumbuh di keluarga Kristiani, tetapi keteladanannya dalam hal memaafkan masa lalu menjadi cahaya penerang banyak sekali manusia.
Hujan, sungai, dan laut
Anak-anak di sekolah dasar hanya sedikit yang bisa bergelar doktor nantinya. Pejalan kaki ke dalam diri juga sama. Amat sedikit yang bisa sampai di puncak gunung, seperti Rumi, Mandela, dan Gandhi. Sebagaimana dicontohkan alam, kebanyakan orang memulai perjalanan seperti hujan. Jalannya kencang, menghujam setiap hal yang ada di bumi. Ini yang bisa menjelaskan mengapa sebagian lebih generasi muda mengisi keseharian (belajar, bekerja) sambil bernyanyi lirik lagu maju tak gentar, membela yang bayar.
Orangtua spiritual
Melihat hanya segelintir manusia yang bisa memasuki wilayah laut, ada kepolosan mau tahu silsilah spiritual manusia- manusia jenis ini. Ia mengingatkan pada cerita tentang anak kampung yang melihat tukang balon terbang. Suatu hari anak dengan uang pas-pasan ini melihat tukang balon terbang berjualan laris sekali. Ketika pembelinya sudah sepi, tukang balon memompa balon warna lain. Dengan polos anak kampung bertanya: ”Bang memangnya warna hitam bisa terbang juga?”. Dengan sabar, tukang balon menjawab: ”Nak, bukan warna luar yang membuat balon bisa terbang, tetapi sesuatu yang ada di dalam”.
Dalam bahasa Vivekananda: when the blossoms vanish, the fruits appear. Tatkala bunganya layu, buahnya muncul. Bila penampilan luar (pujian, kekayaan) sudah mulai kehilangan daya tariknya, ada penampilan dari dalam (rasa syukur, rendah hati) yang muncul sebagai pengganti. Itu sebabnya laut merendah, mensyukuri apa saja yang datang. Hasilnya, laut agung tidak terkira. Ia yang berguru pada laut sedalam ini sudah menemukan orangtua spiritualnya.
Sebagai Ibu, laut adalah simbolik cinta karena apa saja yang datang diolah penuh cinta. Sebagai ayah, laut adalah wakil keikhlasan sempurna karena menerima apa saja tanpa keserakahan memilih. Inilah silsilah spiritual manusia-manusia agung, Ibunya cinta, Ayahnya keikhlasan. Dalai Lama pernah berpesan, If you want others to be happy, practice compassion. If you want to be happy, practice compassion. Mempraktikkan welas asih, itulah rahasia kebahagiaan.
Dalam bahasa seorang guru Mahamudra, If one can rest the mind naturally, that’s the supreme meditation. Saat batin bisa beristirahat secara alami, itulah puncak meditasi. Keikhlasan berkontribusi besar dalam membuat batin beristirahat dalam kealamian. Ibarat burung elang yang terbang indah di angkasa, demikian juga kehidupan yang berjumpa orangtua spiritualnya: ikhlas, bebas, dan lepas
Lukisan Indah Kebijaksanaan
Terowongan gelap tidak berujung, mungkin itu metafora kehidupan zaman ini. Kekayaan kehidupan anak-anak biasanya harapannya akan masa depan. Dan, saat tua tidak sedikit yang membanggakan masa lalu.
Keadaannya mirip kucing yang mengejar bayangannya sendiri. Pada pagi hari (masa muda) bayangannya ada di barat dikejar dan tidak ketemu. Pada sore hari (umur tua) bayangannya ada di timur, lagi-lagi dikejar juga tidak ketemu. Sadar bahaya ini, ada yang memotong lingkaran kegelapan dengan meyakini kehidupan berawal pada masa sekarang dan berakhir pada masa sekarang.
Masa lalu telah berlalu, masa depan belum datang. Namun, melalui tindakan pada masa kini, keduanya bisa dibuat kian terang atau gelap. Sebutlah Ibu yang sudah meninggal, tetapi belum sempat dibahagiakan. Masa lalu membuat kehidupan kian suram jika masa kini diisi penyesalan, rasa bersalah, tidak bisa memaafkan diri sendiri. Sebaliknya ini bisa menjadi awal terang jika pengalaman tidak mengenakkan ini dijadikan titik awal untuk banyak membahagiakan orang
Guru sebagai cahaya
Inilah tanda-tanda manusia yang mulai terbimbing. Dalam setiap kejadian (menyenangkan maupun menjengkelkan) ada cahaya bimbingan. Di Timur, ia disebut munculnya guru simbolik. Tidak ada kebetulan, semua hanya bimbingan. Cuma, sebagian bisa dimengerti kini, sebagian dimengerti nanti.
Sayang, amat sedikit manusia yang lahir di zaman ini memiliki berkah spiritual berjumpa guru. Untuk itu, bagi orang-orang mengagumkan, seperti Jalalludin Rumi, perjumpaan dengan guru adalah berkah spiritual yang amat disyukuri. Segelintir sahabat yang berjumpa guru menyebutkan, hanya dengan mendengar namanya sebagian ketakutan akan neraka langsung sirna.
Karena itu, tidak sedikit pencari yang menghabiskan waktu, tenaga, dan dana untuk mencari guru. Idealnya, pencarian dimulai dengan berjumpa guru hidup. Lalu perintahperintah guru hidup ini diperkaya guru dalam bentuk buku suci. Ia yang sudah memadukan guru hidup dengan buku suci lalu berjumpa guru simbolik dalam keseharian. Puncaknya tercapai saat ketiga guru ini menjelma menjadi guru dalam diri. Orang jenis ini seperti membawa lentera ke mana-mana. Tidak ada lagi kegelapan yang tersisa.
Kematian
Bagi mereka yang belum diberkahi perjumpaan dengan guru hidup, disarankan menjaga diri dengan etika. Praktik serius etika ini mungkin membimbing seseorang
menjumpai guru simbolik. Di antara banyak guru simbolik, kematian adalah guru simbolik paling agung.
Perhatikan pendapat Dzogchen Ponlop dalam Mind beyond death: ”in order to die well, one must live well”. Agar matinya indah, belajarlah hidup secara indah (baca: hidup penuh cinta).
Maka, tidak sedikit guru meditasi yang menggunakan kematian sebagai sumber air perenungan yang tidak habis-habis. Pertama-tama meditator membayangkan tubuhnya mati. Badan kaku, membiru, orang-orang dekat menangis dan seterusnya.
Bila boleh jujur, tiap hari kita mengalami kematian. Seusai sarapan, kita berpisah dengan rasa enak (matinya rasa enak di mulut). Berangkat ke kantor, manusia berpisah dengan rasa nyaman di rumah (matinya rasa nyaman tinggal di rumah). Mengakhiri meditasi, meditator berpisah dengan keindahan konsentrasi (matinya kedamaian meditasi). Dalam wajahnya yang mendasar, kematian menakutkan karena ada perpisahan. Bila terbiasa dengan perpisahan sehari-hari, perpisahan melalui kematian akan menjadi suatu yang biasa.
Ajaran Tibetan book of the dead, wajah kematian terindah bertemu saat semua tahapan antara kematian dan kehidupan berikutnya (bardo) terlewati secara tenang-seimbang. Maka, disarankan untuk memperlakukan semua kejadian dalam hidup (dipuji-dicaci, sukses-gagal, meditasi sampai mimpi) sebagai bardo. Tidak ada apa- apa, yang menyenangkan maupun menakutkan hanya pancaran kesadaran murni. Sebagaimana dinyanyikan berulang-ulang oleh pertapa Milarepa: ”death is not a death for a yogi; it is a little enlightenment”. Dalam kehidupan pertapa, kematian muncul tanpa ditemani ketakutan, ia hanya sebuah pengalaman kecil pencerahan.
Merenungkan Pikiran Erotis
”Kemenangan yang sejati adalah mengalahkan diri sendiri” (Miguel de Cervantes dalam Don Quixote). Manusia-manusia mulia atau mereka yang tercerahkan mengajarkan bahwa solusi untuk berbagai derita hidup tidak berada di luar, tetapi di dalam diri kita. Keberhasilan menemukan jati diri ditopang oleh keinginan kuat untuk mengenal gejolak-gejolak batin, mengamati gerak-geriknya, menenangkannya, dan berkuasa atasnya.
Salah satu dari gejolak kejiwaan yang tersulit untuk dihadapi adalah pikiran. Banyak tradisi mistis menekankan perlunya menenangkan pikiran. Bila berhasil, pikiran yang teduh akan muncul dan membuka jalan menuju keintiman dengan Yang Ilahi. Proses inilah yang kerap digambarkan sebagai rute tubuh-pikiran-jiwa-roh (body-mind-soul- spirit). Kesulitan menenangkan pikiran disebabkan oleh fluktuasinya yang liar, supercepat, dan sering kali berada di luar kontrol kesadaran. Siddharta Gautama mengungkapkannya lebih jelas ketika ia mengatakan bahwa dalam satu kedipan mata, ada 17 x 1.021 momen pikiran yang berfluktuasi. Amat sibuk!
Pikiran simbolis
Saat ini ada gejolak pikiran yang cukup ramai dibicarakan, yaitu pikiran erotis (erotic mind). Di satu sisi, ada keinginan baik untuk mengontrol dan mengawasi ”kenakalan” pikiran ini lewat Rancangan Undang-Undang Pornografi yang sudah ditetapkan sebagai undang-undang. Harapan mulianya adalah moralitas masyarakat menjadi lebih baik.
Di sisi lain, muncul argumen-argumen yang menolaknya dengan alasan: menyesatkan secara substansial, melukai pluralitas, mengalihkan permasalahan esensial, mengancam industri kreatif, mengeksplotasi wanita, memunculkan inkonsistensi internal dalam undang-undang.
Kita sibuk membicarakan manusia sebagai makhluk yang akrab dengan simbol. Simbol berarti sesuatu yang mengatakan tentang sesuatu yang lain. Ketika pengendara melihat nyala merah lampu lalu lintas, ia menghentikan kendaraannya. Nyala merah mengatakan perintah untuk berhenti.
Inilah kekhasan manusia. Ia membentuk sekaligus mengerti simbol. Ketika simbol dimaknai, pengalaman individual dan kultural ikut berbicara.
Pria korban pornografi
Gejolak seksual (sexual arousal) melekat dengan kondisi riil kita sebagai makhluk bertubuh. Adalah wajar bila kita hidup dengan hasrat seksual, tetapi menjadi janggal ketika kita hidup demi hasrat seksual. Kehadiran pornografer atau pornoaktor adalah respons bagi mereka yang hidup demi hasrat seksual di mana wanita kerap dijadikan pajangan.
Mengapa harus wanita? Dalam teori interaksionisme simbolis, gambaran mental kita tentang pria dan wanita adalah produk dari wacana yang ramai diobrolkan masyarakat. Salah satu wacana besar tentang seksualitas menyatakan, laki-laki lebih sering memikirkan seks, melakukan masturbasi, atau menginginkan hubungan seksual.
Jelas bahwa baik pria maupun wanita dirugikan lewat pornografi dan pornoaksi. Pornografi menjauhkan kita dari makna lebih dalam hubungan pria-wanita. Ketika suami jauh dari istri, apakah ia sibuk memikirkan kaki, tangan, mata, pinggul, atau rambut istrinya? Saya kira tidak. Pikiran yang lebih dominan adalah kecemasan berada jauh dari cinta dan perhatian sang istri
Esensi kewanitaan bagi kita (pria dan wanita) perlu kembali dihidupkan. Setiap kita punya ibu yang adalah wanita, saudara kandung yang adalah wanita, atau sahabat karib yang juga adalah wanita. Mereka ini menghadirkan makna paling dasar dari hubungan pria-wanita yang kualitasnya digerus pornografi.
Sentuhan inheren
Kembali ke pikiran terkonsentrasi. Salah satu teknik yang diajarkan dalam tradisi Timur untuk sampai pada pikiran ini adalah apa yang dalam pemikiran Barat disebut mindfulness atau yang dalam pemikiran Jawa disebut awas. Awas adalah upaya pribadi mengenali gejolak-gejolak batin (self-awareness).
Menumbuhkan kesadaran sebaiknya tidak melulu berupa paksaan dari luar. Ketika seorang ibu melihat anaknya bermain pisau, ia bisa saja mengatakan, ”Jangan bermain pisau!”. Cara seperti ini sering kali manjur untuk memaksa anak berhenti. Sayangnya, si anak tidak menyadari alasannya. Ada cara lain. Ibu bisa mengambil sepotong daging mentah, menyayatnya dengan pisau, dan mengatakan, ”Ini lho bahayanya kalau kamu main pisau”. Cara ini mengajak anak berhenti sambil menyadari bahaya main pisau
Rakyat sebagai Kekasih Sejati
Beberapa bulan sebelum Indonesia masuk 2009, orang saling bertanya: ”Siapa ya, sebaiknya presiden kita nanti?” Kemudian mereka menyebut sejumlah nama, membandingkannya, memperdebatkannya, atau membiarkan nama- nama itu berlalu dalam dialog yang tak selesai.
Atmosfer dialog tentang calon presiden diwarnai oleh berjenis-jenis nuansa, latar belakang ilmu dan pengetahuan, kecenderungan budaya, fanatisme golongan, pandangan kebatinan, juga berbagai wawasan yang resmi maupun serabutan. Namun, semuanya memiliki kesamaan: perhatian yang mendalam kepada kepemimpinan nasional dan cinta kasih yang tak pernah luntur terhadap bangsa, tanah air, dan negara.
Memiliki pola kearifan
Rakyat Indonesia, entah apa asal-usul genealogis dan peradabannya dahulu kala, memiliki pola kearifan, empati dan toleransi, serta semacam sopan santun yang khas dan luar biasa. Bagi rakyat, Ibu Pertiwi itu semacam Ibunya, Negara (KRI) itu semacam Bapaknya, dan pemerintah itu kekasihnya. Kekasih yang selalu disayang, dimaklumi, dimaafkan. Suatu saat rakyat bisa sangat marah kepada pemerintah, tetapi cintanya tetap lebih besar dari kemarahannya sehingga ujung kemarahannya tetap saja menyayangi kembali, memaklumi, dan memaafkan.
Rakyat Indonesia sangat tangguh sehingga posisinya bukan menuntut, menyalahkan, dan menghukum pemerintahnya, melainkan menerima, memafhumi kekurangan, dan sangat mudah memaafkan kesalahan pemerintahnya. Bahkan, rakyat begitu sabar, tahan dan arifnya tatkala sering kali mereka yang dituntut, dipersalahkan, dan dihukum oleh pemerintahnya. Itulah kekasih sejati.
Comments
Post a Comment